Like Water that Flows Constantly (by Marissa Haque Fawzi, 2004)


Reflections on the meaning of life: Marissa Haque
(Amidst the flood that hits Indonesia)

Bintaro, Jakarta, February 21, 2004


Water is the source of life.

It is very flexible and can easily adapt itself to anything.

If its course is blocked by a rock, then it will choose another one and continues flowing down towards its destination.

Water also behaves modesty, because it always flows to a lower place.

If the temperature rises, it evaporates, goes up to the sky and afterwards comes down again on the earth.

Water cleans everything; it floods the rice fields in the dry season; it cleans dust and makes the soil fertile.

According to a story, when the rain falls, thousands of angels come down with it.

But if the rains come down in torrents and continuously, like what is happening in the last few days in Indonesia, then there might be something wrong in the relations between men and water.

Water will become men’s friend if we treat it in s friendly way, but if we don’t do it, it will destroy us.In life, water is an indicator of the quality of men in the eyes of God the Almighty.

FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004

FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004
FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004

Sabtu, 15 Mei 2010

Baiffest: Film sebagai Science (Tulisan Marissa Haque Fawzi di Radar Banten pada 2006)


Seharian kemarin di hari Minggu tanggal 19 Desember 2005, pada acara kebersamaan sekeluarga, Ikang, saya, dan anak-anak mengisinya dengan menghabiskan waktu secara sederhana namun mesra di TIM (Taman Ismail Marzuki), Cikini Raya, Jakarta Pusat. Menonton seluruh film yang disajikan (total lima judul non-Hollywood produksi mancanegara). Hari itu tepat hari terakhir penutupan Jiffest (Jakarta International Film Festival). Kami mulai menonton acara dari pukul 14.00 sampai pukul 24.00. Barangkali apa yang kami lakukan kemarin itu agak terlihat aneh bagi keluarga lain di Banten pada umumnya. Bahkan mungkin ada yang bertanya kok bisa-bisanya ada sebuah keluarga yang seluruh anggotanya sedemikian gandrung' terhadap film, seni, dan budaya. Tapi insya Allah bagi mereka yang sudah kenal siapa kami tidak akan merasa aneh bahkan faham, kenapa kami harus mempunyai apresiasi sedemikian tinggi terhadap dunia kesenian, khuisusnya pada bidang film.

Aktivitas kerja berkesenian sebenarnya tanpa terkecuali kita semua miliki. Bahkan tanpa sadar kita semua telah melakukannya dalamn kehidupan sehari-hari. Misalnya mulai dari seni berkomunikasi dengan pasangan hidup, seni melakukan pendampingan bela.jar pada anak di rumah, seni mengatur meja makan, seni merangkai bunga, seni merapikan dapur, dan lain-lain. Bahkan sampai seni menawar cabai di pasar. Akan tetapi saking luasnya wilayah cakupan ilmu kesenian ini, maka untuk lebih fokusnya pembahasan, pada kesempatan kali ini saya hanya akan memilih satu bidang/topik saja, yaitu bidang seni perfilman. Sesuai dengan oleh-oleh laporan pandangan mata selama perjalanan hari Minggu kemarin di TIM.

Ikang Fawzi (suamiku yang asli turunan Rangkas, Lebak), Isabella (putri pertama yang baru masuk semester pertania Fakultas Budaya Jurusan Sastra Inggris di Universitas Indonesia), dan Chikita Fawzi (putri kcdua yang masih duduk di bangku terakhir SMUN 6 Bulungan Jakarta, yang menuruni bakat cinemalographyku) menikmati setiap sajian serta moral message yang disuguhkan oleh lima judul film yang kami tonton. Puluhan anak-anak ABG, sebagian orang-orang asing (anak-anakku menyebutnya orang bule), para pengamat/kritikus film Indonesia, para dosen IKJ, para. pekerja seni bidang lainnya, serta beberapa wartawan budaya lokal maupun internasional memenuhi lokasi acara penutupan tersebut. Di salah satu ruangan ada pula digelar pameran photography oleh Timur Angin putra seorang Pcngamat Seni/Photographer Seno Gumira Ajidharma. Yang mengharukan masih bertahan di sudut di sebelah kanan gedung Serba Guna salah satu tempat terfavorit keluarga kami bila sedang berkunjung ke TIM, yaitu sudut penjualan buku. bekas/langka. Di tempat inilah kami biasanya dapat menghabiskan waktu berjam-jam 'ngendon' dan menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk memborong buku-buku yang menarik hati/kami kebetulan perlukan. Khususnya buku tcntang kesenian yang tak banyak dengan mudah didapatkan di toko buku umum di Indonesia.

Sepanjang waktu di TIM kemarin ini,beankku menerawang jauh. Alangkah bahagianya bilamana di wilayah Banten kita tercinta, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi juga memiliki sebuah Gedung dan sarana kegiatan kesenian yang mirip dengan ini. Dibangun serta dikembangkan oleh para stake holders yang mengerti tentang betapa pentingnya seluruh warga Banten untuk memiliki wadah/sarana bagi pengasahan olah rasa, olah budi, olah ucap, olah pikir, dan pada akhirnya olah sikap yang pada akhirnya nanti akan melenturkan/melunakkan hati-hati yang 'kaku-kering' disebabkan karena kerasnya kehidupan Banten belakangan ini.

Kegiatan Jiffest dibidani oleh para dosen, pelajar, dan praktisi ilmu perfilman di Indonesia. Adalah Shanty Harmain dan teman asal Canadanya 'bernama Natacha Devillers yang mengusung di awal. Sampai setelah lima kaki diadakannya dalam jangka waktu lima tahun, Jiffest menjadi salah satu icon perkembangan komunitas film Jakarta juga sekaligus gambaran dari sebuah pemberontakan pecinta dunia pecinta film non-Hollywood/alternatif. Di mana film-film tersebut sangat sulit didapat di pasar normal oleh karena dianggap tidak punya pasar jelas atau unmarketable.

Kita semua tentunya sangat faham ketika kala itu film dianggap hanya komoditas, wabil khusus saat digunakan sebagai barter perdangan dengan industri tekstil kita di pertengahan tahun 1980 an. Film-film yang dianggap 'film beneran' adalah yang mengusung ideologi produksi ala Hollywood – crazyness, exitement, dan visual sexuality. Dan judul film harus selalu menunjuk kepada kata benda tunggal (he, she atau it), yang selalu pada endingnya hidup atau mati sang tokoh utama selalulah solve the problem. Warna-warna dalam adegan film selalu terang memikat, dan dalam lima menit pertama harus ada adegan menanjak yang kami namakan adegan jeng, jeng, jeng! Inilah resep pendekatan ala pasar yang ter-Hollywoodisasi yang dapat dengan mudah dengan memakai 'mata telanjang' dapat kita bedah, pelajari, bahkan mungkin kita adopsi pada saat yang tepat bila memang diperlukan. Di luar ini, pendekatan ala Eropa Timur yang juga banyak penggemarnya di luar Indonesia, dianggap `bukan' film. Ironi memang. Padahal banyak sekali ilmu dunia seperti sejarah dunia, berbagai filosofi, serta ideologi dunia lain yang dapat kita pelajari keberhasilan maupun kegagalan di dalamnya. Sehingga film bukan hanya sekedar konsumsi semata, seperti yang selama ini kita sikapi terhadap film Hollywood yang merajai dunia dan Indonesia, akan tetapi juga sebagai science. Sebuah bidang keilmuan yang sangat luas dan dalam, yang di dalamnya terdapat catatan sejarah, psikologi, ekonomi, politik yang merupakan ekstraksi dari kehidupan umat manusia.

Bila Erich Fromm (1997) mengatakan di dalam bukunya dalam Bahasa Indonesia yang berjudul Lari dari Kebebasan, "... perjuangan menuju kebebasan dari belenggu orang-orang yang mempertahankan hak-hak istimewanya, pasti ujung-ujungnya akan dilawan dengan penindasan." Maka kalau saat Jiffest diusung saat awal lalu adalah sebagai manifestasi pemberontakan atas statusquo kepemilikan Studio 21 saat dulu dengan dominasi produksi film Hollywoodnya, maka hari ini di Banten sesungguhnya perlawanan tidaklah harus se'ribet' saat para pengusung Jiffest saat lalu di Jakarta. Cukup kita ketuk hati para stake holders di Banten ini, bukti keberhasilan Jiffest sudah nyata, metode dan lain-lain yang terkait tinggal kita adopsi. Para penggerak tinggal kita undang untuk pengawalan/pendampingan program. Insya Allah mereka semua berkenan. Tinggal dukungan kuat dari para seniman dan pekerja seni Banten untuk membunyikannya secara terus-menerus mengenai pentingnya sarana tempat bekespresi yang layak serta tepat guna. Sehingga bila selama ini Banten hanya dikenal dengan wajah `angker' ala Jawaranya, di masa yang akan datang mendapat perimbanagn image yang lebih lentur serta manis-ramah-bersahabat. Dan wajah itu adalah wajah Banten baru, yang bersinar seni tinggi.

Tidak perlu memakai nama kota seperti misalnya Tangerang International Film Festival, atau Serang International Film Festival, cukup Banten International Film Festival yang kita singkat dengan Baiffest. Baiffest akan merupakan sinergi sehat dari enam wilayah kota dan kabupaten yang ada di sini. Sehingga menganulir dikotomi yang selama ini masih menggunung di banyak benak warga semisal kata-kata: Banten Utara, Banten Selatan, Banten Barat, atau Banten Timur. Karena Banten adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Mari kita bangun image Banten dengan segala potensi yang dimilikinya. Kita pakai kendaraan seni film untuk membuatnya menjadi populis. Jadi, ketika belum lama ini saya mendapatkan sepotong film dokumenter mengenai potensi budaya Lebak beserta buku mungil yang menyertai keterangannya, saya langsung melihatnya sebagai sebuah langkah awal positif yang dapat ditiru oleh lima wilayah lainnya di Banten dengan mengajak serta seluruh masyarakat Banten yang cinta seni. para pekerja seni ataupun masyarakat umum lainnya untuk terlibat aktif dalam perkembangan, promosi potensi wilayahnya. Bahkan di Pesantren La Tanzah di Lebak sebentar lagi akan mengadakan Film Club, subhanallah. Besar harapan saya bahwa La Tanzah akan menjadi contoh wadah bagi pengasahan Seni Film melalui kemampuan siswa dan guru sekaligus untuk memakainya sebagai sarana dakwah. Contohnya seperti film-film Iran pemenang kompetisi di Nantes dan Cannes International Film Festival di Perancis atau Sundance Film Festival di Amerika Serikat (Festival Film khusuz bagi para pembuat film Indie) yang berjudul antara lain: The Children of Paradise, The While Balloon, The Color of Pardis, dan lain sebagainya.

Tidak sulit kok belajar membuat film, mengupas filosofi dicdalamnya, serta belajar sejarah apapun yang terekam di dalamnya. Siapapun yang merasa tertarik mengatakan tidaklah terlalu berat mempelajarinya. Dengan demikian saya ingin bertanya dan mengajak, siapakah yang tertarik ingin bergabung bersama kami di dalamnya dan memakainya film sebagai kendaraan penyampaian ilmu pengetahuan bahkan dakwah Tauhid serta hal kebaikan lainnya? Di samping itu, mohon doakan juga secara bersarmaan bahwa tahun depan atau tahun depannya lagi Banten sudah dapat mengibarkai pesona cemerlangnya melalui Baiffest 2006 atau Baiffest 2007 – Banten International Film Festival – yang gaungnya akan smnipai pada belahan dunia setengah perjalanan bumi sebelah sana dari Indonesia. Kalau kota/provinsi lainnya di tanah air bisa, insya Allah alas izin Allah SWT Banten pun tak boleh ketinggalan. Juga harus bisa.

Allahu Akbar, Merdeka!

Entri Populer