Harian Republika, Suplemen Jawa Barat
Jakarta, 14 February 2004
Oleh: Marissa Haque Fawzi
Sewaktu saya berada di Ohio University, Athens, USA, April 2002 yang lalu, di tengah udara segar awal musim semi dan mekarnya bunga Cherry Blossom, di tengah rasa sedih yang berkecamuk karena rasa rindu yang sangat menggigit pada suami dan anak-anak serta kesendirian yang membeku, melalui internet saya membaca sebuah tulisan kutipan dari speech Ibu presiden RI Megawati Soekarnoputri mengenai kaum perempuan yang tidak boleh cengeng untuk meminta quota 30% dan sebaiknya harus terus menerus mengasah dirinya demi kemajuan agar siap bersaing dan merebut peluang yang ada. Saat itu hati nuraniku berteriak di antara setuju dan tidak setuju. Saya setuju bahwa kesempatan untuk maju bukan dengan mengemis berikut kecengengan yang biasanya menjadi stigma pada sifat kaum perempuan, akan tetapi dengan merebutnya.
Namun di lain pihak saya tidak setuju dengan pernyataan beliau tersebut di atas, karena jumlah 30% suara adalah merupakan jumlah minimal yang harus didapatkan bila kaum perempuan akan memperjuangkan sesuatu. Saat itu saya merasakan adanya getaran “amarah” dari teman-teman aktivis perempuan di Indonesia dari tempat tinggalku di kota kecil Athens, AS yang berjarak setengah belahan bumi dari Jakarta sehubungan dengan pernyataan tersebut di atas. Akan tetapi sebagi seorang mahasiswa pasca sarjana, saya berusaha memahami latar belakang alasan yang membuat Ibu Megawati mengeluarkan pernyataan demikian.
Saya kemudian meneliti serta menelusuri jejak langkah sejarah Ibu Megawati dari kecil hingga kemudian mulai berpolitik saat usianya berkepala empat. Saya memperoleh beberapa catatan dan membuat sejumlah hipotesa, bahwa dengan garis hidup yang tidak terlalu “ramah” padanya, beliau dengan berjuta upaya berusaha mengarungi kendala “melenyapkan” hambatan the glass ceiling (May Ling Oei Gardiner, 1997). Ibu Mega saya lihat sangat sabar serta mampu menahan diri sampai dengan keberadaan di posisi sesungguhnya — yang memang merupakan takdirnya — sebagai orang nomor satu di Indonesia saat ini. Kehadirannya sebagai politisi muda dimulainya atas dorongan Taufik Kiemas sang suami—sesuai wawancara yang saya lakukan dengan Pak Taufik — saat Ibu Mega memasuki usia matang empat puluh tahun. Dari orang yang tersingkirkan sebagai korban dunia politik, beliau, sang suami, serta beberapa teman yang dekat dihati berhasil melalui berjuta rintangan yang menghadang. Ada sebuah babak yang tanpa terasa melukai rasa gender sensitive saya ketika pada tahun 1999, PDI Perjuangan, partai yang dipimpin Ibu Mega ketika berhasil menjadi the ruling party ternyata tidak mampu menghantarkan beliau menjadi Presiden Republik Indonesia saat itu karena dianggap menyalahi kaidah agama yang melarang seorang perempuan menjadi Presiden. Yang menggelitik adalah, ketika belum genap dua tahun saat presiden yang berkuasa saat itu dianggap harus turun jabatan. Dengan kelompok yang sama, mereka kemudian mencari-cari ayat yang berbeda dari kitab suci yang sama, mencoba meyakinkan masyarakat bahwa perempuan sebenarnya ”layak juga” sebagai pemimpin nomor satu sebuah negri. Saya melihatnya ibarat sebuah komedi panggung zaman Dardanela. Saya yang ketika itu masih teramat sangat apolitik, kemudian merasa terketuk untuk turut serta meyumbangkan sesuatu bagi negeri tercinta Indonesia dan Presiden perempuan pertama negeri ini—Megawati Soekarnoputri.
Maka ketika setelah kembali lagi ke Indonesia untuk mengambil cuti kuliah—sebagai seorang istri dan ibu dari dua gadis remaja saya berusaha menyeimbangkan waktu antara kuliah di Amerika Serikat dan mengurus keluarga di Indonesia—dan kembali lagi ke Athens, Ohio guna menyerahkan studi independen membuat beberapa film iklan dan dokumenter, begitu mendengar bahwa rombongan Presiden RI akan datang ke New York untuk mengikuti KTT disana, tanpa berpikir panjang dengan dana saku yang pas-pasan khas layaknya seorang mahasiswa sayapun langsung terbang dari Columbus, Ohio menuju New York. Targetku hanya satu; mengusung obsesi lama membuat film dokumenter mengenai tiga orang pemimpin negara perempuan ditengah pro dan kontra. Mereka bertiga yang saya agendakan untuk diliput adalah; Megawati Soekarnoputri, Aung San Su Kyi, serta Gloria Macapagal Aroyo. Tentu yang pertama-tama aku akan kejar adalah Presidenku lebih dulu!
Sesampainya di kota New York yang memiliki biaya hidup sangat termahal untuk ukuran AS, saya tinggal dirumah beberapa keluarga Indonesia yang menerima saya dengan tangan terbuka. Beberapa yang dapat disebut adalah; keluarga Andy Rahmianto (PTRI-DEPLU) beserta Ismi istrinya, Mas Inil dan Windy istrinya di Pocono, Ustad Samsi Ali beserta istri dan keluarga besar Masjid Indonesia NY, mbak Mimi Louis (KJRI-NY), dan mbak Aisha di New Jearsy. Tak lupa tentunya sahabat setiaku di Columbus dan Athens yang sering menemani disaat suka dan duka; Mas Syarif dan Ira istrinya, serta Rinalda Radjab dan Ziad Akir sang suami yang asal Palestina. Ada sesuatu yang sampai hari ini aku sesalkan, yaitu tidak sempat singgah dan menginap dirumah kakak kandung mas Riri Riza, sutradara muda terkenal Indonesia pembuat film Sherina—Bang Mamat dan Heather istrinya.
New York dengan sejuta pesonanya tidak mampu membuat aku bergeming dari tujuan awalku—menemui Presiden perempuanku. Aku ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri penampilan beliau di PBB, aku ingin mengabadikankannya melalui camera DVCam Sony PD 150 ku, aku ingin membuat beberapa still photos dari kehadiran beliau ditengah para pria pemimpin dunia asal negeri maju.
Singkat kata, aku berhasil melihat penampilan Ibu Megawati di Asembly Hall-UN. Juga turut menyaksikan beliau duduk dan bercakap-cakap dalam sebuah meja bulat bersama George Bush, Koffi Anan, Jaques Chirac, dan beberapa pemimpin dunia lainnya—beliau satu-satunya perempuan saat itu. Ibu Mega memakai kebaya warna ungu tua dengan kain dan selendang batik sutra warna coklat dengan motif yang ada unsur ungunya. Rasanya saat itu aku bangga sekali mempunyai seorang Presiden perempuan. Dan entah datang dorongan darimana, saat itu juga aku langsung mengatakan didalam hati, “… I’ve got to support this lady anyway". Dari niat akan mengusung protes akan ungkapan beliau tentang quota 30% yang tidak didukung sejak aku membaca berita tersebut melalui internet di Athens, Ohio, sampai pada akhirnya aku jadi berniat mendukung program beliau pada penghujung masa sisa jabatan dengan membantu turut berkampanye untuk PDI Perjuangan di tahun 2004 ini. Siapa yang menyangka pucuk dicinta ulam tiba, ketika tanpa diduga keesokan harinya, ketika aku sedang meliput di depan The American-Indonesian Chamber of Commerce aku dihampiri oleh Bapak Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang menyampaikan salam dari Bu Mega dan mengajak untuk bergabung dengan partai PDI Perjuangan. Kelihatannya beliau terkesan dengan sejumlah pertanyaan yang aku utarakan saat tatap wajah bersama beberapa wakil mahasiswa Indonesia di AS (PERMIAS) dari seluruh penjuru AS—berisi tentang perlunya film dan seni budaya sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia yang sangat lentur.
Kalau sekarang gaung 30% caleg perempuan sangat keras gemanya, belakangan aku sadari seribu persen bahwa itu adalah buah dari upaya perjuangan Megawati Soekarniputri sebagai Presiden RI perempuan pertama melalui salah seorang pembantunya—Ibu Sri Rejeki sang Menteri Muda Urusan Peranan Wanita didukung partisipasi beberapa LSM, KPU (Ibu Nurul Mar’iyah) dan masyarakat Indonesia secara luas. Tak menutup mata andil yang maha dahsyat dari peran media cetak, televisi serta radio dalam proses pensosialisasiannya.
Belakangan kita semua sedang menghitung mundur hari H pemilu 2004 yang sudah didepan mata. Sebagai salah seorang caleg perempuan dari PDI Perjuangan, saya merasa betapa amat pentingnya kita semua membantu kaum perempuan—melaui nantinya—kebijakan-kebijakan yang “ramah” bagi perempuan, anak dan keluarga secara menyeluruh. Wanita diharapkan lebih mampu untuk lebih berperan dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan isu-isu yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Saya meyakini bahwa Ibu Megawati hari ini masih sangat menjadi sumber inspirasi bagi banyak kaum perempuan untuk segera berprestasi dan mengambil posisi kepemimpinan. Bukan menjadi pesaing laki-laki, apalagi bermusuhan. Karena kita perempuan Indonesia bukanlah seperti mereka di Barat. Disini, kami para perempuan saya yakini hanya ingin mendapatkan kesempatan yang memang merupakan haknya, ingin menjadi mitra sejajar para pria yang juga dekat dihati mereka. Siapapun perempuan itu, saya, anda semua, lintas suku, agama dan ras. Karena itu saya memilih PDI Perjuangan yang saya yakini dapat mengakomodir Indonesia yang multikultural dan kepentingan perempuan pada khususnya. Insya Allah demikian adanya.
Like Water that Flows Constantly (by Marissa Haque Fawzi, 2004)
Reflections on the meaning of life: Marissa Haque
(Amidst the flood that hits Indonesia)
Bintaro, Jakarta, February 21, 2004
Water is the source of life.
It is very flexible and can easily adapt itself to anything.
If its course is blocked by a rock, then it will choose another one and continues flowing down towards its destination.
Water also behaves modesty, because it always flows to a lower place.
If the temperature rises, it evaporates, goes up to the sky and afterwards comes down again on the earth.
Water cleans everything; it floods the rice fields in the dry season; it cleans dust and makes the soil fertile.
According to a story, when the rain falls, thousands of angels come down with it.
But if the rains come down in torrents and continuously, like what is happening in the last few days in Indonesia, then there might be something wrong in the relations between men and water.
Water will become men’s friend if we treat it in s friendly way, but if we don’t do it, it will destroy us.In life, water is an indicator of the quality of men in the eyes of God the Almighty.
Entri Populer
-
Flu Burung Banten Pulang dari tugas negara di Vietnam, Singapuran dan Malaysia, membaca Strait Times kemarin malam di pesawat, membuat saya ...
-
Sabtu, 17 Desember 2011 20:23 WIB Sumber: http://pekanbaru.tribunnews.com/mobile/index.php/2011/12/17/marissa-haque-hubungan-angie-berpoten...
-
Radar Banten 20 November 2005 Radar Banten, 20 November 2005 Kala saat mengaji tak sekedar mengucapkan kata, ketika setiap lantun ayat...
-
Serang, Banten 12 Desember, 2005 Selamat menjalankan ibadah Haji, sahabat. Semoga pulang menjadi haji dan hajah yang mabrur. Di masjid Al ...
-
RADAR BANTEN, 10 April 2006 Syahdan, Kerajaan Kalingga, Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di Keling, Kelet, Jepara, Jateng) b...
-
Indonesia's Cinematic Art Stumble and Surge World Paper, N...
-
15 November 2005 RADAR BANTEN Para ahli bijak mengatakan bahwa hidup itu hanya sekali, harus berarti dan setelah itu baru mati. Bahwa hi...
-
Ikang Fawzi, Marissa Haque dan Desy Ratnasari Di- endorse oleh PAN Ahmad Toriq - detikNews Sumber: http://news.detik.com/read/2013...
-
Sumber: http://marissa-haque-maafkan-ikhlaskan.blogspot.com/ Ketika IPB kupilih menjadi wadah mengasah kognisi-afeksi-psikomotorik...
-
23 Januari 2006 RADAR BANTEN Rindu Gus Dur dalam Filosofi Air Air, hari-hari belakangan ini di Nusantara tercinta termasuk Banten menjadi ...