Like Water that Flows Constantly (by Marissa Haque Fawzi, 2004)


Reflections on the meaning of life: Marissa Haque
(Amidst the flood that hits Indonesia)

Bintaro, Jakarta, February 21, 2004


Water is the source of life.

It is very flexible and can easily adapt itself to anything.

If its course is blocked by a rock, then it will choose another one and continues flowing down towards its destination.

Water also behaves modesty, because it always flows to a lower place.

If the temperature rises, it evaporates, goes up to the sky and afterwards comes down again on the earth.

Water cleans everything; it floods the rice fields in the dry season; it cleans dust and makes the soil fertile.

According to a story, when the rain falls, thousands of angels come down with it.

But if the rains come down in torrents and continuously, like what is happening in the last few days in Indonesia, then there might be something wrong in the relations between men and water.

Water will become men’s friend if we treat it in s friendly way, but if we don’t do it, it will destroy us.In life, water is an indicator of the quality of men in the eyes of God the Almighty.

FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004

FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004
FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004

Sabtu, 15 Mei 2010

Para Pesohor di Ranah Politik (dalam Marissa Haque Fawzi/Daur Ulang untuk Radar Banten, 2005)

Untuk Sinar Harapan/Daur Ulang du Radar Banten pada Tahun 2005

Jakarta, 24 Januari 2004
Pada tanggal 23-24 Januari 2004 yang lalu penulis mendapat undangan untuk menghadiri sebuah acara Rakernas II Kaukus Perempuan Politik Indonesia di Hotel Indonesia. Sebelum acara selesai ada sebuah kesempatan tanya jawab dengan para panelis di jajaran depan yang terdiri dari para pendiri, LSM, dan seorang moderator. Sebelum acara berakhir penulis mendapat kesempatan untuk mengajukan pernyataan—bukan pertanyaan. Sehubungan dengan beberapa pertanyaan dari beberapa caleg dengan isi dan tujuan yang sama, yaitu:”…apakah untuk menjadi caleg jadi kami harus menjadi artis seperti mbak dan teman-teman artis lainnya?” Menggelitik, tapi sekaligus membuat dada saya sesak mendengar pertanyaan ironi seperti ini. Mengingat selama acara berlangsung selalu saja kalimat sama ini muncul berulang-ulang, mereka menyebut keberadaan diri mereka yang berada dinomer sepatu sebagai jadi caleg dan bukan menjadi caleg jadi!

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) judul yang dipakai diatas mengandung makna yang masih dapat dibedah. Para mengacu kepada suatu kelompok. Pesohor asal kata sohor, mempunyai makna termashur; ternama; terkenal. Ranah bermakna elemen atau unsur yang dibatasi; bidang disiplin. Sementara Politik mempunya makna ilmu pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan).

Maka kalau sekarang banyak masyarakat yang memberikan nada minor terhadap kehadiran para “artis”—sebuah kata yang banyak disalah artikan hanya sebagai orang yang pekerjaannya muncul dimuka TV dan Film—tentu akan banyak yang maklum. Banyak yang bingung, karena mau dilihat dari sudut pandang apapun, dua kutub dunia ini “nggak nyambung”, demikian ungkap khalayak maupun komentar di beberapa acara infotainment. Karena bidang politik diyakini oleh masyarakat umum sebagai sebuah bangunan rumah yang “hanya” boleh diisi oleh para politikus saja. Sementara menurut KBBI, politikus adalah orang yang menjalankan ilmu politik tersebut diatas—tak perduli siapapun atau dengan latar belakang apapun. Artinya siapapun boleh menjadi politikus, asalkan mampu dan layak.

Mengapa kesan minor ini dapat terjadi? Kemudian faktor-faktor apa saja yang membuat peringkat kehadiran para pesohor belakangan ini sebagai calon legistatif demikian pesat, jauh melampaui kehadirannya pada periode-periode pemerintahan sebelumnya? Fenomena apa sebenarnya yang terjadi dari semua ini? Siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan kehadiran mereka? Apa yang dicari oleh para pesohor pada ranah yang sama sekali berbeda dari habitat asli mereka? Sejuta pertanyaan menggantung, perlu segera diberi jawaban sebelum stigma negatif semakin menohok keberadaan mereka, karena penulis merupakan salah satu dari mereka yang sedang banyak dibicarakan itu disana.

Sadar ataupun tidak kehadiran televisi serta acara-acaranya—terutama infotainment—belakangan sudah ibarat oksigen kedua bagi kita. Ia merupakan nafas kehidupan yang masuk melalui hidung, memenuhi rongga paru-paru dan masuk melalui jalan nadi, melalui butiran-butiran darah merah kita, hingga sampai di otak. Sehingga begitu sampai diotak, ia menjadi sesuatu yang “ada” begitu saja, sebagai satu keniscayaan. Mereka menyumbang andil yang signifikan pada—lebih dari terkadang—dunia infotainment yang diproduksi dengan biaya minim itu sangat membius penontonnya. Maka jangan ditanya bila satu saja episodenya terlewatkan, pemirsa yang berada dirumah merasa kehilangan sesuatu yang amat berharga. Acara-acara tersebut banyak mengusung para pesohor dari berbagai kelas, ibarat candu yang membius bahkan menagih. Ia kemudian menjadi sebuah eskapisme terhadap kondisi nyata yang terjadi di masyarakat. Lari sejenak dari kenyataan kondisi ekonomi yang baru saja sedikit membaik, tingkat pengangguran yang masih tinggi, keamanan yang jauh dari memadai, banjir, kekurangan pangan, dan lain-lain. Bermimpi, tak mengapa kata mereka, mumpung masih gratis dan tak kena pajak—khas seperti dampak negatif para pemakai candu yang lari sejenak dari kenyataan hidup.

Media betul-betul sangat berpengaruh, terutama sejak semakin berkembangnya teknologi informasi, dimana dunia seakan tanpa batas--borderless world. Pada era perkembangan pesat budaya popular (pop culture), masyarakat dunia tiba-tiba terlihat menjadi seragam. Dimana-mana kita melihat orang memakai celana jeans dengan potongan dipinggul, menindik cuping hidung, pusar kelihatan, dll. Dari mana datangnya keseragaman ini? Tak lain dari pengaruh media audio dan visual, yang belakangan mejadi semakin murah, mudah dan cepat. Teknologi internet menambah percepatan perkembangannya.

Apa pengaruhnya pada perkembangan Politik di Indonesia dalam kaitan dengan para pesohor yang sampai dengan hari ini masih ramai dibicarakan? Media menjadi alat pengintip ketika dipadankan dengan cerita rakyat dari Barat yang berjudul “The Peeping Tom". Bila disana si Tom kecil mengintip sang Raja yang ternyata tidak memakai busana, pada kenyataannnya televisi menjadi alat mengintip sekaligus alat pengkultusan masyarakat terhadap kehidupan para subjek alias pesohor tadi. Konsumerisme visual ini mempunyai nama khusus yang sering dipakai oleh para pengajar dan pelajar studi film—voyeurism—apa yang nyaman bagi mata manusia semisal wajah ganteng dan cantik, dada bidang dan penuh, kaki panjang dan mulus, dll. Dalam bahasa popular masa kini disebut “layak jual.” Dengan keingintahuan yang berubah menjadi obsesi ngintip dan ngegosip membuat masyarakat bukan saja merambah wilayah personal para subjek, akan tetapi juga yang berkaitan dengan aktifitas para subjek pada pada tatanan social lainnya. Euphoria ini tampak seperti perayaan massal. Hingga begitu ada sesuatu yang baru yang tidak biasanya dilakukan para pesohor ini, seperti pada ranah politik, masyarakat masih melakukan pendekatan dengan cara ngintip dan ngegosip seperti yang biasa mereka lakukan terhadap para subjek sebelumnya. Tak perduli bahwa para subjek ini sedang berusaha melangkah pada dunia yang tantangannya berbeda—Politik. Bagi masyarakat, para pesohor tetaplah merupakan magnet yang berkekuatan maha dahsyat daya tariknya, tak perduli sedang apa atau bidang apapun yang sedang dilakoni. Yang penting ada berita terus yang dapat diikuti, dapat menjadi bahan “diskusi” alias ngegosip bersama rekan kerja atau hanya sekedar ngerumpi dengan tetangga samping rumah.

Voyeurisme sebagai alat konsumerisme visual. Siapa sebenarnya yang diuntungkan? Tentu saja orang-orang yang berada dibelakang tersedianya program tersebut; para produser acara-acara murah meriah yang amat kurang unsur edukasinya, serta para pemilik televisi. Bagaimana tidak, ketika acara yang awal dibuatnya tanpa idealisme sama sekali tersebut mampu mendongkrak rating pada jam yang justru tidak menarik—siang dan sore hari yang biasanya hanya ditonton oleh orang-orang yang berada dijam makan siang atau “hanya” tinggal dirumah. Benar apa yang dipaparkan oleh Neil Postman didalam Amusing Ourselves to Death (1985). Akan tetapi kondisi kekinian yang terjadi adalah bahwa amusement tersebut telah longsor dari hiburan menjadi arena pengintipan seperti si Tom sang pengintip pada cerita yang disebut diatas. Lebih tepat bila kita perhatikan analisa yang dikembangkan oleh Jay Rosen (1999) bahwa jurnalisme yang selama ini kita fahami sebagai civic journalism sebagian perlahan memudar dan menghasilkan apa yang disepakati bersama masyarakat sebagai voyeuristic journalism. Dan media di Indonesia, baik itu yang cetak maupun elektronik tak luput dari gejala yang sedang medunia akibat efek globalisasi dan borderless world ini.

Gejala voyeuristic journalism ini dimulai di Amerika Serikat ketika Hugh Heffner mempunyai “ide berlian” seiring dengan frustasi nasional disana akan perang Vietnam serta perang dingin dengan Rusia, ditemukannya pil kontrasepsi, dan terjadinya women liberation, menjual libido melalui media cetak diawal tahun 1960 an. Melalui majalah yang dimulai dengan tiras sedikit dengan gambar sampul Marilyn Monroe—yang saat itu merupakan simbol seksual—Playboy Magazine. Tiras yang sedikit itu berkembang seiring dengan permintaan pasar yang membludak. Tak alang maka sukses bisnis yang dijalankan Heffner ini menjadi panutan pebisnis Amerika lainnya. Apalagi kondisi hari ini dimana Playboy berhasil memunculkan beberapa nama beken bintang papan atas AS seperti Pamela Anderson sampai Demi Moore. Tak urung gejala ini kemudian melekat pada beberapa acara televisi khusus orang dewasa dan film layar lebar produksi AS. Tanpa terasa, dibawah sadar, kita semua tentu mengenal tiga resep lakunya film dengan pendekatan ala Hollywood; exitment, crazyness, dan visual sexuality. Nah yang terakhir ini, setelah bergabung dengan kebebasan berekspresi ala demokrasi AS, merupakan salah satu buah dari perjalanan sejarah majalah Palyboy dalam pengaruhnya terhadap perkembangan budaya pop (pop culture) di AS dan dunia.

Politik, excitement, pesohor, dan pop culture merupakan empat rangkai hal-hal yang tak terpisahkan bila kita kaitkan dengan isu-isu politik yang menjadi santapan pembicaraan kita belakangan ini. Memang, Indonesia yang masih menjunjung tinggi etika moral dengan penduduk mayoritas Muslim, tidak akan per-iah memperkenankan seorang bintang film porno dan penari bilgil menjadi anggota legislatif seperti yang terjadi di Italia beberapa tahun yang lalu. Bahkan seorang Inul pun—sebagai salah satu buah dari pop culture—cukup "tabu diri" dengan hanya ingin meramaikan Pemilu nanti sebagai vote getter dari tiga partai besar; PDI-P, GOLKAR, dan PKB. Sehingga unsur visual sexuality tidak banyak berpengaruh di tatanan moral mayoritas pemilik Pemilu di Indonesia. Tapi siapa tabu bila tidak diwaspadai bersama, kejadian seperti di Italia juga dapat terjadi di negeri kita tercinta ini.

Indonesia dengan Pemilunya di tahun 2004 ini, menjadi titik balik bagi penyiapan masa depannya. Untuk, demi dan dari rakyat adalah isu besar yang dijunjung oleh semua kontestan. Rakyat adalah peran utamanya, yang dimaknai dengan bertemunya orang-orang yang memiliki ide, perasaan, aspirasi, yang dikernbangkan menjadi komitmen yang sama bagi penyadaran besar akan persoalan bangsa Indonesia. Menurut Nurcholis Majid (Indonesia Kita, 2003), target ideal pada tahun 2015-2025, Indonesia akan memasuki the golden era dalam bentuk demographic bonus, di mana satu orang produktif akan menanggung satu atau dua orang yang tidak produktif lainnya. Masa ini adalah masa yang biasanya tidak terjadi dua kali dalam sejarah dunia. Mengingat pentingnya masa ini, maka tidak dibenarkan kekuasaan dikejar demi kekuasaan tersebut semata. Kekuasaan harus dikejar demi mewujudkan cita-cita besar bangsa. Kita semua harus berfikir dari berusaha menyelamatkan dan membangun Indonesia. Harus jeli melihat potensi dan peluang yang ada. Jika kita lemah dan gagal. maka kita akan terpuiuk serta tercecer menjadi bangsa yang selamanya terbelakang. Dan keterlibatan para pesohor tentunya tidak lepas dari koridor ini—membangun masa depan bangsa dan negara Indonesia dengan segala kesadaran serta kemampuan yang ada pada mereka.

Jatuh cinta pada si ganteng gagah dan si cantik yang pintar dan terkenal. Alangkah idealnya mimpi tersebut. Di Barat, kita tabu minimal ada tiga nama aktris dan model perempuan serta beberapa aktor yarf& sampai usia gaeknyapun masih dikejar para penggemarnya di seluruh dunia. Beberapa yang dapat disebut, di antaranya; Christy Turlington, Elizabeth Hurley, Angelina Jolley, serta Richard Gere dan Arnold Swezeneiger. Christy Turlington adalah salah seorang dari generasi supermodel dunia, bersama Naomi Campbell dan Linda Evangelista. Ia terkenal menjadi bagian dari The Trinity (tiga model dengan bayaran tertinggi pada saatnya). Ketika era supermodel berakhir, dan ketika para model lainnya menghilang atau turun reputasinya, Christy Turlington justru kembali kebangku sekolah. la pun menamatkan pasca sarjananya dari NYU (New York University) pada tahun 1999. Memang sejak 'ditemukannya' pada usia tiga belas tahun, Christy berkeras untuk tidak memulai karimya sebelum ia lulus dari bangku SMA. Ia kemudian bekerjasama dengan merek Puma untuk mengembangkan sebuah bidang usaha produk peralatan dan busana untuk yoga dengan label Nuala. Christy memegang penuh kontrol terhadap label yang dimulainya sejak tahun 2000 itu. Kecintaannya pada budaya Hindu dan India meneruskan langkah bisnisnya mencintakan produksi perawatan kulit dengan bahan dasar tumbuhan ayurveda berlabel Sundari (Yang berarti cantik di dalam bahasa Sansekerta). Citra yang terpanear pada dirinya selain cantik adalah pintar dan piawai dalam bisnis, sehingga tak heran bial ia mampu bertahan sebagai model Kelvin Klein selama hampir lima belas tahun belakangan ini. Begitu juga nama-nama yang tersebut setelah Christy, Angelina Jolley. Walaupun lahir dari keluarga yang broken home—begitu juga perkawinannya. Akan tetapi kecintaannya terhadap kelompok marginal, anak-anak korban di pengungsian, membuatnya bukan hanya semakin bersinar sebagai aktris papan atas, tetapi juga membuat sebuah organisasi dunia PBB melirik memakainya menjadi duta UNICEF untuk anak-anak korban pengungsi dari Cambodia. Siapa yang tak jatuh cinta pada pandangan pertama pada si ganteng Richard Gere? Aktor yang sudah mulai memutih rambutnya—tapi masih menyisakan kegantengannya—adalah aktifis yang menyokong kedaulatan masyarakat Tibet. Kedekatannya pada Dalai Lama, memberinya pencerahan dengan memeluk agama Budha. Dan yang terakhir masih hangat dibicarakan, sang Gubernur baru. California, bintang laga Arnold Schwarzeneger. Walaupun hanya berselisih sedikit, ia toh mampu memenangkan pemilihan disana. Mengacu kepada beberpa referensi diatas, teramat sangat jelas terlihat bahwa pada dasarnya setiap manusia itu punya potensi untuk menjadi positif, baik, serta bern-lanfaat bagi kelangsungan hidup manusia lain. Mereka ibarat medan magnet yang luar biasa bagi para pemburu berita—wartawan serta aneka macam media.

Bagaimana di Indonesia? Kurang lebih demikian yang kelihatan. Bisa jadi juga karena pengaruh globalisasi media dengan pengaruh pop culture nya. Jadi budaya popular yang umumnya berkembang melalui acara hiburan, pakaian, makanan, gaga hidup dan musik, bila yang terekspos di Barat seperti itu, kelihatannya akan menjadi inspirasi kepada penduduk negara ketiga lainnya—Indonesia salah satunya. Di Indonesia dalam kaitarinya dengan Politik, kita melihat beberapa Hama yang muncul kepermukaan; Nurul Arifin dan Luhut Sitompul dari partai Golar, Dede Yusuf dan Paquita Wijaya dari PAN, Rieke Dyah Pitaloka dan Gusti Randa dari partai PKB, Emilia Contessa dan Mieke Wijaya dari partai PPP, Angelina Sondakh dan Roy Marten dari partai Demokrat, Neno Warisman, HeIvy Tiana Rosa dan Pepeng (Jari-jari) dari partai PKS, serta penulis sendiri dari partai PDIP. Alasan dan latar belakang pemilihan kendaraan politik masing-masing, jelas berbeda satu sama lainnya. Walau penulis yakin bahwa tujuan kita semua sama—kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia. Kalau mereka ingin merebut hati rakyat, artinya selain popularitas yang telah dimiliki, mereka juga harus berkecimpung di bidang apapun dan harus mengetahui persis apa yang dekat dan sedang menjadi aspirasi masyarakat luas. Ini pun lagi-lagi adalah produk dari perayaan massal budaya popular (pop culture). Frasa "disukai pasar" mempunyai makna disukai banyak orang—populis—menjadi kata kunci dari kesuksesan. Salah satunya adalah dua contoh yang populis tapi sangat bertolak belakang; fenomena Inul Daratista dan Aa' Gym. Yang pertama disukai oleh karena visual sexuality-nya, sementara yang kedua karena ajaran moralitas yang menjadi innate (kodrat dasar) masyarakat luas Indonesia. Inul disukai karena dapat membangkitkan gairah hormon testosterone para pria pemujanya, bahasa membuminya yang sangat sederhana disukai para wanita, kebersahajaan pribadinya menimbulkan empati yang mewakili mimpi wong cilik Jawa Timuran. Di sisi satunya Aa' Gym menggunakan kalimat-kalimat poluler yang mudah dicerna, serta pendekatan--pendekatan yang mirip buku yang ditulis oleh Norman Vincent Peale "The Powerful Way to Change Your life "(2000) dan"Positif Imaging" (1998), serta Napoleon Hill pada "Think and Grow Rich" (2002). Siapapun manusia didunia perlu motivasi serta role model dalam melangkahi kehidupannya- Dan Aa' Gym sangat tabu akan hal itu. Ia pun menggunakan kekuatan media sebagai kendaraan dakwahnya. Walhasil, dengan segala perbedaan mencolok yang ada, keduanya mampu menyedot perhatian masyarakat serta penggemarnya masing¬-masing. Siapakah yang diuntungkan sekali lagi dari kehadiran dua superstar itu?—selain kedua pribadi yang bersangkutan—tentu saja media dan semua masyarakat industri media kapitalis yang terlibat di dalamnya.

Bilamana semua kemungkinan dapat muncul ke permukaan dikaitkan dengan suasana politik yang terjadi belakangan ini, apakah masyarakat Indonesia dapat mempercayai kemampuan para pesohor yang sekarang sedang berjajar sebagai calon legislatif? Probabilitinya lima puluh persen-lima puluh persen. Sebagian di dalam beberapa polling menyatakan setuju, sebagian lagi merasa patch arang dan curiga. Dilain pihak, penulis membaca kondisi masyarakat yang juga terbagi dua. Pertama masyarakat yang berpikir dengan cara Machiavelli, dan kedua adalah masyarakat yang berfikir secara spiritual. Machiavelli adalah seorang tokoh yang terkenal dengan keyakinan bahwa dalam berpolitik, cara yang paling "baik" adalah cara yang paling efektif dan efisien untuk mendapatkan kekuasaan. Jadi pada dasarnya setiap manusia itu berpotensi buruk! Manusia mempunyai kepentingan-kepentingan yang mampu membuatnya melakukan apa saja demi memenuhi kepentingannya. Hanya melalui sistim yang baik, kecenderungan buruk manusia itu dapat ditekan. Berseberangan dengan Machiavelli, para spiritualis yakin bahwa pada dasarnya setiap manusia itu baik. Yang membuatnya menjadi buruk adalah jika hak-hak asasinya—terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan bidup—tidak diperoleh secara memadai. Dalam bahasa yang sangat Islami, kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Jadi secara innate manusia itu sebenarnya baik, hanya lemah! Diperlukan sebuah tatanan atau sistim yang qjeg yang dapat mengontrol semua langkah usaha dalam mencapai kebajikan yang dicita-citakan. Tentunya bersama-sama dan saling bahu-membahu diantara seluruh masyarakat Indonesia. Kehidupan bangsa ini harus terus melaju, karena la bukanlah sesuatu yang hampa, is bermakna. Makna hidup ini bermula dari sebuah visi kehidupan, harapan, dan wujud alasan kenapa seseorang hares tetap bertahan hidup. Dengan energi ini seseorang akan mampu mengatasi segala kesulitan yang hadir di depan mata. Tak perduli seseorang itu pesohor atau masyarakat umum biasa.Yang penting tentunya jujur dan selalu berprasangka baik. Dengan kejujuran, kita dapat saling mengenal dengan baik, mencari titik temu, walau pada akhirnya ada yang harus kita sepakati untuk tidak sepakat.

Beberapa aksi positif program nyata dari para caleg asal pesohor ini banyak yang sudah jelas didepan mata. Mereka menggiring program yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Seperti misalnya Nurul Arifin dengan aksi isu HIV AIDS, Quota 30% wanita pada parlemen, dan kekerasan dalam rumah tangga, Rieke Dyah Pitaloka dengan aksi isu penegakan hukum, pendidikan yang membuka pikiran, serta kesetaraan gender. Sementara penulis sendiri akan mengusung isu pemberdayaan seni dan budaya lebih optimal sebagai ujung tombak diplomasi dunia, mengurangi dampak kerusakan lingkungan terhadap kekerasan gender, pemberdayaan sumber daya perempuan dan anak secara umum khususnya mendorong pendidikan anak perempuan yang masih terasa sangat dianak-tirikan, ditambah percepatan pengembangan teknologi informasi bagi para keluarga yang memliki anak usia sekolah. Beberapa pesohor lainnya mengusung isu yang kurang lebih mirip, karena pada dasarnya kita semua memang mengingiiikan sesuatu yang juga mirip kalau tidak dapat dikatakan sama—Indonesia yang bangkit!

Penulis pun tiba-tiba teringat akan sebuah buku yang barn saja beredar di toko buku karangan Victor E. Frankl, "Logoteraphy" (2003). Pemikiran Frankl ini sangat menarik karena sangat berseberangan dengan pemikiran Sigmund Freud dengan Psikoanalisanya, serta cocok untuk melengkapi analisa isu didalam tulisan ini. Frankl yang hadir pada masa setelah Freud, mereka berdua mempunyai kesamaan tertank pada alam dan pengobatan neurosis. Bila Freud menemukan akan penyakir neurosis yang menyedihkan itu dalam kegelisahan yang disebabkan oleh konflik internal dan motivasi bawah sadar, sementara. Frankl melihat berbagai bentuk neurosis yang muncul pada pasien yang menderita kegagalan dalam mendapatkan makna dan rasa tanggung jawab dalam eksistensinya. Logoterapi yang ditawarkan oleh Frankl lebih mendekati teori aktualisasi diri dari Abraham Maslow—teori kebutuhan—dicintai dan mencintai, sandang, pangan, papan, dan aktualisasi diri.

Para pesohor adalah manusia biasa dengan segala permasalahannya. Mungkin juga dari kami ada yang menderita neurosis, dan butuh pemenuhan dasar sesuai teori kebutuhannya Maslow. Bahkan pada sebuah acara Angin Malam di RCTI yang menghadirkan Nurul Arifin dan Wanda Hamidah mantan pendukung partai PAN, di dalam kata-kata pembuka yang diucapkan oleh sang pembawa acara dengan nada menghafal sehingga tidak lancar dikatakan:"... konon dikatakan, para artis ini pada saat mulai kehilangan pekerjaannya, mereka mulai melirik pekerjaan politik." Penulis protes dan tidak setuju! Karena sesuai dengan apa yang disinyalir oleh Hegel sang filsuf, dikatakan bahwa pada pada puncak pemenuhan hidup seseorang, maka segala sesuatunya akan dikembalikan lagi kemasyarakat. Para pesohor yang, sekarang sedang berjejer menjadi caleg, penulis yakim masih memiliki penghasilan memadai yang melebihi dari sekedar gaji pokok serta tunjangan yang akan diterima sebagai legislatif dari negara—sebagai imbal balik menjadi wakil rakyat di kantor Senayan.

Dari beberapa nama yang sering muncul di media. rata-rata berusia tiga puluh lima tahun keatas, di mana sudah mulai mendapatkan tingkatan terakhir dari lima peringkat teori kebutuhannya Maslow—artinya kebutuhan dicintai dan mencintai. sandanp– pangan, clan papan telah selesai. Masalah aktualisasi juga sudah bukan masalah lagi, karena pernah dan masih populer sampai hari ini. Di atas sana masih ada kebutuhan transendental (kerinduan akan Ilahi) yang bersentuhan dengan kepekaan sosial yang tinggi. Hingga apa yang diucapkan oleh Hegel sangat masuk di akal. pada tahapan itu semua yang telah didapatkan oleh seorang pesohor/individu akan dikembalikan kepada masyarakat melalui pengabdian yang bersentuhan dengan kesalehan sosial. Berbarengan dengan sistim Pemilu yang terbuka sekarang ini, membuat kemungkinan partisipasi bagi siapapun di ranah politik menjadi terbuka. Kompetisinya bebas, langsung, sangat lokal yang berarti; siapa yang paling populer dan dikenal masyarakat di tempat pemilihannya maka ia akan kelihatan lebih dahulu. Memang sangat mungkin para pesohor ini akan menang dan melenggang secara leluasa lebih dulu dibanding para kandidat umum lainnya.

Jadi sebenarnya menjadi caleg "biasa", tidak perlu berkecil hati. Pada era budaya popular seperti sekarang ini, setiap orang mempunyai potensi menjadi terkenal. Ada dua pihak ekstrim yang terbuka—menjadi penyebar segala kebaikan sesuai ajaran moral spiritual, atau membuka busana atau menggoyang-goyangkan aurat di depan publik. Tentunya kita keberatan dengan pilihan yang kedua. Dari ruang diskusi Kaukus Perempuan Politik Indonesia kemarin, disimpulkan untuk menjalani pilihan pertama yang penulis sarankan ditambah dengan terjun langsung kemasyarakat bawah—tatap wajah, datang ke pasar yang banyak manusianya, dan melakukan usaha kissing the babies. Cara-cara yang di Amerika Serikat sudah dianggap klise ini sesungguhnya masih sangat efektif di belahan mana pun di dunia ini. Orang masih sangat terpana dengan sentuhan salaman, senyuman yang hangat, tatapan mata yang talus dan berangkat dari hati, serta ucapan-ucapan salam yang personal. Dengan pandangan mata ramah dan tatapan langsung, perkenalkan diri kita dengan menyebut: "Nama saya adalah..., saya caleg lho, nanti kalau saya terpilih saya akan membantu kesulitan ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian di DPR atau DPRD, dll." Sesungguhnya, sebagai caleg yang bukan pesohor yang menapak karir dari bawah, tidak juga perlu khawatir, karena ada BPP (Bilangan Pembagi Pemilih). Pemilu dengan cara langsung, terbuka, dan sangat lokal ini sebenarnya menguntungkan bagi kita semua orang-orang yang serius dan mau kerja keras. Karena bila suara atau dukungan pada saat pemilihan nanti banyak, siapapun dapat "membawa kursinya sendiri" dari rumah. Maksudnya sudah punya investasi dan bargaining position yang baik pada partainya masing-masing untuk masuk ke dalam urutan peci (di atas) pada Pemilu 2009 yang akan datang. Insya Allah demikian adanya.

Oleh: Marissa Haque Fawzi

Jakarta, 24 Januari 2004.

Entri Populer