Like Water that Flows Constantly (by Marissa Haque Fawzi, 2004)


Reflections on the meaning of life: Marissa Haque
(Amidst the flood that hits Indonesia)

Bintaro, Jakarta, February 21, 2004


Water is the source of life.

It is very flexible and can easily adapt itself to anything.

If its course is blocked by a rock, then it will choose another one and continues flowing down towards its destination.

Water also behaves modesty, because it always flows to a lower place.

If the temperature rises, it evaporates, goes up to the sky and afterwards comes down again on the earth.

Water cleans everything; it floods the rice fields in the dry season; it cleans dust and makes the soil fertile.

According to a story, when the rain falls, thousands of angels come down with it.

But if the rains come down in torrents and continuously, like what is happening in the last few days in Indonesia, then there might be something wrong in the relations between men and water.

Water will become men’s friend if we treat it in s friendly way, but if we don’t do it, it will destroy us.In life, water is an indicator of the quality of men in the eyes of God the Almighty.

FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004

FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004
FLowing Like Water (Marissa Haque Fawzi) Amids a Mild Snow in Athens, Ohio, USA, 2004

Sabtu, 15 Mei 2010

Radar Banten 2006 dalam Marissa Haque: Dari Eceng Gondok ke Pentas Dunia

Tak kenal maka tak sayang. Nah, bunga liar eceng gondok kerapkali dipandang sebelah mata. Cuma layak jadi pengisi rawa atau sungai yang tak terurus saja. Lihat saja sungai-sungai yang ada, lalu rawa seperti rawa Cipondoh, Tangerang, Banten, penuh disemaki eceng gondok yang banyaknya tidak ketulungan. Akibatnya air tidak bergerak, kadar oksigennya rendah, kualitas airnya menurun. Namun pesona Ungu, kembang eceng gondok di masa lalu telah mampu memukau Raja Thailand yang saat itu sedang bermuhibah ke Jawadwipa, bersilaturahmi dengan raja-raja di Pulau Surga ini. Mengambil benih belimbing, durian, jambe, dan aneka buah yang ditemui di pinggir hutan. Tak lupa jemari kukuh sang Raja, memetik bunga ungu eceng gondok. Keindahan bunga liar itu rupanya akan dipersembahkan kepada permaisuri di kaputren sana.

Namun eceng gondok punya hasrat lain. Daya hidupnya begitu kuat. Daya sebarnya luar biasa. Begitu disemai bumbuh di taman Keputren, eceng gondok segera menyebar ke sungai-sungai dan rawa sekitar istana, jadi momok hama yang sulit dibasmi. Rakyat pun kebingungan, karena keberadaannya yang begitu banyak, menghambat irigasi dan merepotkan pertanian warga Thailand. Namun, sang Raja tidak berdiam diri, segera dikirimnya tim ahli istana, untuk mempelajari tumbuhan baru eceng gondok yang begitu perkasa, juga bibit-bibit tanaman yang dibawa dari bumi jawa, termasuk Banten. Lambat laun, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Maka didapatlah, tumbuhan unggul, seperti belimbing, jambu, pepaya, durian, berlabel “Bangkok”, yang memiliki rasa di atas rata-rata, bentuk besar, menarik, istimewa dan gampang dibudidayakan serta memiliki keseragaman rasa yang cukup terjaga. Di masa kini, Thailand dikenal sebagai pengekspor buah-buahan yang dominan. Demikian pun ‘hantu’ eceng gondok yang mengesalkan banyak warga di sana, justru sekarang jadi komoditas ramah ekspor. Menjadi bahan baku kerajinan tangan, souvenir yang tak terlupakan, tas, tikar, bantalan, alas, hiasan dinding, dan aneka macam kreativitas tangan yang memukau penduduk manca negara. Batang dan daun eceng gondok yang telah dikeringkan dan diproses demikian rupa, menjadi bahan mode yang laris manis.

Di Banten pun perkembangan liar eceng gondok, hadir di mana-mana. Bahkan di rawa Cipondoh, Tangerang. Rawa itu telah menjelma menjadi kerajaan eceng gondok. Seolah tak ada tangan yang mampu menyentuh dan mengarahkan arah tumbuhnya bagi kesejahteraan rakyat sekitarnya. Padahal tinggal dijemur, dikeringkan, diproses sedemikian rupa dengan tangan dan rasas yang memuja keindahan. Maka akan didapat tas tangan, alas piring, atau hiasan dinding yang berkelas dunia. Tentu harganya mahal. Rakyat untung, pemerintah mendapat devisa, dan lingkungan mendapat air yang hernih mengalir bebas eceng gondok.

Di luar kita berkaca pada Thailand yang sangat menghormati alam dan mengarahkan seluas-¬luasnya demi kemakmuran rakyat. Kita harus banyak belajar dari mereka, jika Banten ingin maju. Di dalam negeri kita bisa berkaca juga pada Jogja, yang dengan kesederhanaannya, minimnya sumber daya alam, padatnya penduduk. Menjadi surmber dari semacam 'pabrik' handycraft atau kerajinan tangan yang hasilnya diekspor kemana-mana, ke Bali, dan banyak ke luar negeri. Perekonomian Jogja, didorong oleh banyak hal, arus utamanya pariwisata. Landasan utamanya yang amat kuat dan fenomenal adalah 'pabrik rakyat' kerajinan tangan. Selain eceng gondok, ada akar bambu, batang bambu, ranting bambu, dan segala hal yang dimata kita hanya sekedar sampah, atau pohon pengisi semak saja. ternyata oleh tangan-tangan berbasis kerakyatan. Rakyat dimotivasi dengan alih teknologi. Pelatihan. Pengiriman misi-misi pengiriman ke Jogja, syukur ke Thailand sana. Belajar membuat produk yang bercita rasa dunia. Juga membuat pola desain produk terbaru. Dikembangkan dengan dengan balk. Maka akan didapat sinergi yang baik. Ketika pulang. Masing-masing kelompok pengrajin memiliki kewajiban untuk mengembangkan kerajinan tangan di daerahnya. Dengan supervisi yang baik dari Disperindagkopar, rasanya pertumbuhan itu akan cepat dicapai.

Segera saja, kita akan merasakan banyak keuntungan, dengan banyaknya angka penduduk, jumlah pengangguran yang tinggi, energinya bisa diarahkan untuk mcembuat kerajinan tangan, memenuhi pasar lokal sekaligus berorientasi ekspor. Apalagi bandara juga ada di Banten, jadi tidak ada alasan, orang Banten tidak mengkepsor hasil kerajinan tangannya. Ke negeri manca sana. Membentuk persahabatan abadi melalui kreativitas seni kecil yang bermutu tinggi. Agar kita segera merdeka dari kemiskinan dun keterbelakangan.

Merdeka!

Entri Populer